SEANDAINYA Adi (eks vokalis Naff) tidak menyuruh Zulkifli pulang kampung dan menyeriusi musik, mungkin tidak akan ada tembang “Aishiteru” yang kini nyangkut di kepala kita. Tapi, siapa Zulkifli? Dialah otak dari Zivilia. Duo yang belakangan melejit sejak membawakan lagu yang judulnya berbahasa Jepang itu.
Gaya menyanyi dengan memenggal lalu mengulang berkali-kali huruf 'a' pada kata 'aku' dan 'aishiteru' yang terdapat pada bagian reffrain mampu memberikan rasa guilty pleasure bagi yang mendengarnya. Merasa aneh pada mulanya, tapi malah dinyanyikan terus. Hehehe.
Wajar jika akhirnya lagu yang berkisah tentang rasa kehilangan akibat terpisah jarak dan waktu dengan kekasih itu wara wiri bahkan menjadi jawara di berbagai tangga lagu.
“Sampai sekarang masih naik-naik terus (di tangga lagu). Di RBT juga. Alhamdulillah,” ujar Zul yang bertindak sebagai vokalis, gitaris, dramer, dan piano di band.
Zivilia terbentuk tahun 2008. Lahir sebagai ambisi Zul yang ingin menyeriusi musik. Zul pernah tinggal di Jepang sejak tahun 2003 sebagai TKI dari program pelatihan Depnakertrans. Dia bekerja sebagai buruh pabrik di sebuah perusahaan mobil. Karena lokasi pabrik yang terletak di pedesaan, ritme kehidupan Zul nyaris monoton. Tetapi, Zul seorang yang sejak lama mencintai musik.
Sebelum ke Jepang pun, Zul sempat kuliah di Universitas Negeri Makassar jurusan Sendratasik (Seni Drama Tari dan Musik), walau tidak sampai lulus akibat kesulitan ekonomi. Maka sambil bekerja, cowok kelahiran Kendari, 19 Agustus 1981 ini mengambil kursus piano klasik pada malam harinya.
Begitu besar kecintaan Zul pada musik, hampir semua pendapatan bulanannya dipakai membeli peralatan musik. Gitar dan piano, semua dibeli Zul. Dengan peralatan musik yang lengkap, Zul mulai belajar bikin lagu. Caranya Zul agak unik. Di tengah-tengah deru mesin pabrik, ia malah berteriak-teriak, mengarang-ngarang lagu.
“Begitu selesai kerja, langsung saya tulis,” kenang cowok yang semula bercita-cita membuka usaha organ tunggal sepulangnya dari Jepang.
Kontrak kerja sebagai TKI hanya 3 tahun. Sebelum kontrak berakhir, Zul memilih hengkang. Bukannya pulang ke Indonesia, Zul malah bertahan tinggal di Jepang dan terus bermusik. “Saya nge-band di Jepang. Suka tampil di acara 17 Agustusan di kedutaan, atau jadi band pembuka artis-artis Indonesia yang main di sana,” kata Zul yang tinggal secara ilegal di Jepang dengan nama Ogawa, setelah kontrak kerja 3 tahun sebagai TKI berakhir.
Hingga salah satu penampilannya di tahun 2008 dilihat Adi, yang langsung menyarankan Zul pulang ke Indonesia dan rekaman. “Mending kamu balik, rekaman!” ucap Zul menirukan Adi.
Percaya dengan keyakinan Adi, dua bulan setelah pertemuan, Zul pulang ke Indonesia dan langsung membentuk band bersama kerabatnya termasuk Idham Akbar (basis) yang sekarang menjadi rekan duo-nya di band.
“Pulang dari Jepang saya langsung ajak Idham dan dua orang lainnya bikin band Zivilia,” cerita Zul.
insert2Berhubung yang menyuruh rekaman Adi (orang Bandung), maka Zivilia yang dalam bahasa Romawi bermakna cinta pergi ke Bandung membuat demo. Well, sukses di musik tentu saja tidak semudah itu. Perjalanan ke Bandung tidak membawa mereka kemana-mana. Album demo pun mereka bawa pulang ke Kendari. Mencoba peruntungan di kampung halaman, demo album mereka tawarkan ke radio-radio. Siapa sangka, responsnya positif.
“Alhamdulillah. Sampai-sampai dibajak, bahkan ada di Glodok. Artinya, dari bajakan itu lagu kami bisa terkenal ke seluruh Indonesia. Di radio-radio Aceh juga masuk chart dan jadi nomor satu selama sebulan. Di angkot-angkot Kendari juga lagu kami sering diputar. Tapi sayang, waktu itu lagunya disebut “Jembatan Kenangan” dan nama band-nya ditulis Salju Band. Mungkin orang Glodok-nya enggak tahu ini band siapa, lagunya apa, jadi dibikin-bikin gitu,” ungkap Zul antara bangga dan miris.
“Dibajak itu merugikan, sekaligus menguntungkan. Tapi ya sudahlah enggak apa-apa,” imbuh Idham. Toh, berbekal kesuksesan di ranah “pasar bajakan”, akhir tahun 2009 Zivilia mendapat panggilan dari manajemen Positive Art yang kemudian menghantarkan mereka tanda tangan kontrak dengan perusahaan rekaman Nagaswara.
Kendati telah memiliki materi yang cukup untuk produksi satu album, Zivilia, yang saat tanda tangan kontrak ditinggal dua personel lainnya, tidak bisa merilis full album akibat perubahan tren industri musik. Maka Zivilia merilis singel “Aishiteru” sebagai permulaan. Sempat membuat kaget Zul dan Idham, karena saat tampil, ternyata penonton sudah hapal liriknya.
“Enggak nyangka juga sih. Lagunya kan lumayan padat liriknya. Ngikutin (lagu-lagu) Jepang gitu. Tapi setiap tampil sudah pada hapal, kami senang,” kata Zul yang membuat lagu “Aishiteru” berdasarkan pengalaman pribadi.
“Enam tahun di Jepang, enggak balik-balik. Rindu sama orang-orang yang kita sayang,” bebernya. Bagi Zul kisahnya berakhir pedih. Jarak dan waktu memisahkan dia dari orang yang terkasih.
Namun, merilis lagu Indonesia tapi gaya-gayaan pakai judul bahasa Jepang sempat membuat Zivilia kena tuduhan tidak nasionalis. Padahal niatan Zivilia bergaya Jepang-Jepangan, selain karena latar belakang Zul yang pernah tinggal di Jepang, sekaligus sebagai karakter pembeda Zivilia dengan band-band Indonesia lain.
“Di Indonesia ini kan banyak banget band-band baru. Di Jakarta saja sudah banyak. Jadi bagi kami yang datang dari Kendari, harus membuat sesuatu yang berbeda. Masukin lirik di dalam berbahasa Jepang, judulnya juga bahasa Jepang, biar mencuri perhatian saja,” papar Zul.
“Tapi, kalau saya pikir tentang Jepang itu ya sebetulnya bagus. Disiplin, kerja keras, jujur, dan teknologinya. Apalagi dia negara paling maju di Asia. Jadi ambil nilai positifnya saja.”
Ya, positif banget kalau setiap manggung serasa memberi kursus bahasa Jepang ke para penonton. “Kalau manggung di mana-mana saya suka menyapa dengan bahasa Jepang. Banyak juga ternyata yang jago bahasa Jepang di sini,” kata Zul. Malang bagi Idham, dia kerepotan juga diajak penggemar ngobrol pakai bahasa Jepang.
“Aduuuh, saya sih enggak bisa. Zul saja tuh. Hahaha,” seloroh Idham yang menggunakan uang warisan keluarga sebagai modal pergerakan Zivilia.